HARI SANTRI
Momentum Hari Santri Nasional, yang tahun ini kita peringati untuk ketiga kalinya, harus menjadi tonggak bela agama dan bela negara sekaligus untuk menangkal paham radikalisme.Tonggak bela agama dan bela negara sudah diperjuangkan oleh para pahlawan saat melawan penjajah dulu. Pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy'ari pernah mengguncang Indonesia dengan fatwanya yang fenomenal pada 22 Oktober 1945, yakni resolusi jihad. Resolusi hasil musyawarah para kiai se-Indonesia itu berisi seruan agar para pejuang bertahan dan berdaulat sebagai bangsa dan negara. "Membela tanah air dari penjajah hukumnya wajib." Para ulama mendeklarasikan perang melawan penjajah sebagai perang jihad.
Salah seorang kiai yang berperang melawan penjajah yakni kakek saya, KH. Muhyidin bin Arif. Pendiri delapan pesantren Pagelaran ini melatih para santrinya untuk bertempur menghadapi Belanda. Melalui pesantren, kakek saya mengajarkan agama sekaligus bela negara. Pernah dua kali ditangkap Belanda, Komandan Hisbullah ini akhirnya gugur ditembak tentara penjajah.
Peran para santri dalam merebut Kemerdekaan Indonesia sangat besar. Namun, revitalisasi santri mengalami pasang surut. Hingga akhirnya Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Dengan momentum Hari Santri Nasional, diharapkan kiprah para santri kembali ke khitah-nya, salah satunya menjaga keutuhan NKRI.
Kita patut bangga karena banyak pemimpin yang lahir dari kalangan santri dan ulama. Misalnya Kiai Haji Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang dibesarkan di pesantren kemudian menjadi pemimpin yang menginspirasi kita semua.
Saat ini para santri seharusnya juga bisa menginspirasi banyak orang untuk melakukan perubahan. Saya bangga, misalnya, di tengah maraknya informasi di era digitalisasi ini, belum lama ini lahir situs Arus Informasi Santri (AIS) yang mengisi kekosongan literasi. Mereka patut diacungi jempol. Dengan kekiniannya, mereka mengolah informasi dengan ramah, bukan marah, sekaligus menangkal isu-isu radikalisme.
Kita harus optimistis di tengah perang informasi, kita dapat memilah informasi dengan jernih, terutama hoax yang memecah belah persatuan. Ketika isu agama dipakai sekelompok orang untuk memecah belah, para santri harus hadir menjadi pengolah informasi yang baik, memberikan literasi dan mendidik, agar Indonesia lebih kondusif.
Sebagai pemimpin satu daerah, saya harus memberikan yang terbaik buat negara. Karena itu saya menginisiasi lahirnya Perda Pesantren. Perda itu akan mengisi kekosongan hukum dan perlindungan bagi pesantren. Yakni "penggunaan" uang negara untuk memajukan pendidikan pesantren.
Selama ini pesantren sering kekurangan dana. Para kiai kerap menyodorkan proposal ke sana kemari untuk mendapat bantuan guna membangunan pesantrennya. Nah, melalui Perda Pesantren, kelak pembangunan pesantren, biaya pendidikan, kemandirian pesantren dapat dibantu dengan dana APBD. Bahkan, ke depan saya mengusulkan ada Undang-undang Pesantren, yang menjadi payung hukum untuk mengatasi persoalan pendidikan di pesantren. Problem pesantren bukan problem sektoral satu wilayah tapi problem nasional; harus diselesaikan secara nasional.
Selamat Hari Santri Nasional, semoga santri Indonesia dapat merefleksikan diri pada perkembangan zaman, terutama dengan memperkuat jaringan informasi.
0 komentar:
Posting Komentar